BUDAYA NEGOSIASI BISNIS: STUDI
KASUS AMERIKA DAN CINA
by
(Jasa Skripsi/Tesis/Disertasi:
aruybiznet@gmail.com)
ABSTRAK
Negosiasi
menjadi salah salah kunci yang harus dikuasai pelaku bisnis multinasional untuk
menaklukan pasar-pasar baru yang menggiurkan. Adalah penting untuk memahami dan
bersinggungan dengan budaya dan norma-normal kehidupan lokal dalam kancah
negosiasi global. Dan tulisan ini mencoba menganalisis studi kasus negosiasi
bisnis lintas budaya antara Amerika dan Cina. Pembahasannya meliputi: (1)
Perbedaan pendekatan masing-masing budaya dalam hal kesepakatan kontrak bisnis;
(2) Kesalahan yang terjadi diantara kedua pihak; (3) Karakteristik negosiator
yang baik; dan (4) Apa yang harus dipersiapkan dalam negosiasi lintas budaya.
Keywords: negosiasi lintas budaya, Cina, Amerika,
Guanxi.
I. Latar
Belakang Masalah
Sebagian besar permasalahan bisnis di lapangan ternyata disebabkan oleh
kurangnya pemahaman para pelaku bisnis akan arti penting negosiasi dan cara
melakukannya dengan benar. Padahal, negosiasi kadang lebih menentukan ketimbang
perjanjian hitam di atas putih, terutama di awal-awal memulai kerja sama.
Bahkan tidak jarang pula negosiasi dilakukan tanpa persiapan. Akibatnya, ketika
dilakukan, negosiasi hanya menjadi sia-sia dan kita jadi rugi waktu dan tenaga.
Padahal, kerugian itu bisa dihindari apabila pelaku bisnis memposisikan
negosiasi sebagai elemen krusial dalam menjalankan kerjasama bisnis.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan artikel yang ditulis oleh Markus
Pudelko yang berjudul “Cross-Cultural
Negotiation: Americans Negotiating A contract in China”.
II. Kajian
Teoretik Negosiasi Bisnis
Pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan perjanjian perdagangan bebas tentunya
melalui tahap-tahapan tertentu, salah satunya yaitu tahap negosiasi dalam
penyusunan perjanjian antara pihak-pihak yang bersangkutan. Negosiasi adalah
suatu tahap dimana pihak-pihak yang bersangkutan saling mengajukan tuntutan dan
keinginan mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Odell (2009) bahwa negosiasi
adalah:
“a sequence of actions in which two or more
parties address demands and proposals to each other for the ostensible purposes
of reaching an agreement and changing the behavior of at least one actor.
(Suatu kegiatan pengajuan tuntutan-tuntutan dan penawaran-penawaran antara dua
pihak atau lebih secara bertahap dengan tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan
dan untuk merubah sikap salah satu pihak).”
II.
1 Definisi Negosiasi
Secara umum kata "negosiasi"
berasal dari kata to negotiate, to be negotiating dalam bahasa inggris
yang berarti "merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu
kondisi, dan atau menawar". Sedangkan kata-kata turunanya adalah antara
lain "negotiation" yang berarti "menunjukkan suatu proses
atau aktivitas untuk merundingkan, membicarakan sesuatu hal untuk disepakati
dengan orang lain", dan "negotiable" yang berarti
"dapat dirundingkan, dapat dibicarakan, dapat ditawar".
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan
sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk
mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua
pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar.
Selain itu negosiasi juga merupakan ijab kabul dari sebuah proses interaksi
yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas
sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama (Sujana, 2004: 15).
Negoisasi secara umum
memiliki kandungan unsur-unsur atau komponen sebagai berikut :
1.
Pertemuan
antara 2 (dua) belah pihak atau lebih yaitu pihak kita dan pihak lain.
2.
Membahas
tentang suatu persoalan bisnis (dalam arti luas).
3.
Adanya
tawar menawar mutualistik (saling menguntungkan).
4.
Adanya
suatu musyawarah untuk mencapai titik temu.
5.
Adanya
suatu kesepakatan antara keduanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi bisnis adalah pertemuan
antara 2 (dua) belah pihak atau lebih yang membahas suatu persoalan bisnis
dalam arti luas dengan adanya tawar menawar mutualistik, adanya suatu
musyawarah untuk mencapai titik temu dan adanya kesepakatan antara keduanya.
II.
2 Tujuan Negosiasi
Ada beberapa tujuan dari sebuah negosiasi dalam
bisnis, yaitu antara lain :
1.
Untuk mendapatkan atau
mencapai kata sepakat yang mengandung kesamaan persepsi, saling pengertian dan
persetujuan.
2.
Untuk mendapatkan atau
mencapai kondisi penyelesaian atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi
bersama.
3.
Untuk mendapatkan atau
mencapai kondisi saling menguntungkan dimana masing-masing pihak merasa menang (win-win
solution).
II.
3 Manfaat Negosiasi
Selain mempunyai tujuan, negosiasi juga
mempunyai manfaat. Manfaat yang diperoleh dari sebuah proses negosiasi di dalam
pengertian bisnis resmi antara lain adalah :
1.
Untuk mendapatkan atau
menciptakan jalinan kerja sama antar badan usaha atau institusi ataupun
perorangan untuk melakukan suatu kegiatan atau usaha bersama atas dasar saling
pengertian. Dengan terjalinnya kerjasama antar kedua belah pihak inilah maka
tercipta sebuah transaksi bisnis yang saling terkait, sehingga membuat hidup
perekonomian. Dengan kata lain, bahwa suatu proses negosiasi bisnis merupakan
bagian dari suatu proses interaksi guna menghidupkan perekonomian dalam skala
yang lebih luas.
2.
Dalam sebuah perusahaan,
sebuah proses negosiasi akan memberikan manfaat untuk menjalin hubungan bisnis
yang lebih luas dan juga untuk mengembangkan pasar, yang diharapkan memberikan
peningkatan penjualan. Proses negosiasi bisnis juga akan menghasilkan harga
yang lebih baik dan efisiens, yang memberikan keuntungan yang lebih besar.
Dalam jangka panjang hal ini akan memberikan kemajuan dari sebuah perusahaan.
II. 4 Strategi Negosiasi
Negosiasi merupakan hal yang rumit dan memiliki beragam strategi. Namun
menurut Odell, dari sekian banyak strategi negosiasi, terdapat tiga strategi
utama dalam negosiasi yaitu distributive strategy, integrative
strategy, dan mix strategy (Crump, 2005).
Distributive strategy merupakan
suatu strategi yang digunakan oleh salah satu pihak ketika pihak tersebut
merasa hasil negosiasi tidak akan menguntungkan pihaknya maupun pihak lawan
atau menemui jalan buntu. Pihak yang menggunakan strategi ini akan selalu
mengedapankan keuntungan atau kemenangan dari sisinya atau paling tidak
pihaknya tidak mengalami kerugian. Taktik utama strategi ini yaitu mengajukan
penawaran yang tinggi, bersifat tertutup, lamban dalam bernegosiasi (tidak
cepat atau gampang menerima penawaran pihak lawan), menunda-nunda proses
negosiasi dan beberapa taktik lainnya.
Sedangkan integrative strategy, adalah strategi yang
mengedepankan tercapainya hasil yang saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Taktik dari pihak yang menggunakan strategi ini yaitu menawarkan
penyusunan suatu perjanjian yang saling menguntungkan, selalu berusaha mencari
solusi alternatif di luar penawaran yang telah diajukan oleh pihak lawan maupun
pihaknya dan beberapa hal lainnya.
Selanjutnya yaitu mix strategy, strategi ini menurut Odell adalah
strategi yang lebih sering digunakan dalam proses-proses negosiasi. Strategi
ini merupakan gabungan dari strategi distributive dan integrative,
pihak yang menggunakan taktik ini berkomitmen untuk memberikan hasil yang
menguntungkan bagi pihaknya maupun lawan, tetapi ada kecenderungan untuk tidak
terlalu terbuka terhadap pihak lawan dan selalu berusaha membawa negosiasi ke
arah yang lebih menguntungkan bagi pihaknya. Strategi ini dapat lebih cenderung
ke arah distributive ataupun integrative, begitu pun alurnya
dapat dimulai (awal negosiasi) dari menggunakan strategi integrative dan
berubah menjadi distributive di akhir negosiasi.
II. 5 Gaya Negosiator
Negosiator yang terampil,
yang secara teratur bertemu dengan banyak pihak lain tahu bahwa mereka
masing-masing mempunyai gaya bernegosiasi tersendiri. Di dalam praktek
negoisasi akan ditemukan tiga gaya negosiator, yaitu :
1.
Tipe
petarung (fighter).
Yaitu negosiator yang memiliki
orientasi pada tugasnya, sangat tinggi.
2.
Tipe kolaborator (collaborator)
Yaitu negosiator yang bertujuan untuk
memperoleh segalanya ditempat terbuka, menghadapi berbagai masalah dan membuat
transaksi yang kreatif.
3.
Tipe kompromistis.
Yaitu negosiator yang selalu berusaha
mencari kompromi untuk menyelesaikan persoalan.
Ketiga jenis negosiator tersebut sangat erat kaitannya dengan jenis
organisasi yang berbeda-beda didalam penerapannya. Diantara ketiga tipe
tersebut yang paling unggul sangat tergantung kepada “ketrampilan, pelatihan
dan pengalaman” yang dimiliki masing-masing negosiator.
II. 6 Pengaruh Kebudayaan yang Berbeda Terhadap Kemampuan Negosiasi
Kemampuan negoisasi dengan
pengaruh kebudayaan yang berbeda adalah suatu hal yang perlu “diketahui” dan
“di-identifikasi”. Orang dari negara yang berbeda mempunyai nilai, sikap, dan
pengalaman yang berbeda. Mereka mempunyai kekuatan dan juga kelemahan yang
berbeda satu sama lain.
Seorang negosiator yang
berkompeten harus mengembangkan gaya yang cocok dengan kekuatannya sendiri.
Janganlah berusaha untuk mengikuti gaya dan kebudayaan yang lain. Hendaknya dia
jangan mengikuti gaya orang lain di mana ia mempunyai kekuatan, sedangkan pihak
lain tidak; suatu gaya yang akan menyebabkan dia menunjukkan kelemahan
alamiahnya dan bukan kekuatannya yang alamiah.
Ia perlu menyadari apa
yang merupakan kekuatannya dan mempraktekkan keterampilannya untuk memanfaatkan
kekuatan itu. Ia juga harus sadar bahwa orang lain bekerja secara lain. Menghormati
cara-cara mereka yang berbeda tanpa perlu tunduk kepadanya adalah penting.
Perbedaan tentang kebudayaan itu tidak
saja mempengaruhi perilaku luaran tersebut, melainkan juga menentukan
nilai-nilai dasar dari para negosiator itu. Setiap orang membawa berbagai
asumsi yang berakar dalam meja negosiasi yang mungkin dia sendiri tidak menyadarinya.
Adapun berbagai perbedaan budaya yang mempengaruhi gaya negosiasi adalah
sebagaimana dibawah ini (Susilo, 2008; Thill and Bovee, 2010) :
1.
Budaya Amerika.
Pada
umumnya diidentifikasikan dengan kecenderungan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·
Percaya diri dan mengedepankan profesionalisme.
·
Straight to the point (langsung ke pokok
masalah/pembicaraan)
·
Kemampuan tawar menawar.
·
Minatnya pada “system-paket”.
2.
Gaya Budaya Jerman.
Mempunyai
kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·
Gaya yang teliti dan sistematik.
·
Persiapan sangat matang, kaku dan tanpa kompromi.
·
Penyampaian masalah dan penawaran dengan jelas dan tegas.
3.
Gaya Budaya Inggris.
Mempunyai
kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·
Cenderung amatir dan berbeda sekali dengan gaya Amerika.
·
Kurang adanya persiapan.
·
Baik hati, ramah, suka bergaul, menyenangkan.
·
Luwes dan tanggap terhadap inisiatif.
4.
Gaya Budaya China.
Mempunyai
kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·
Atensi terhadap “wajah-diri” (penampilan, harga diri yang
sering ditunjukkan dengan kemewahan).
·
Spesialisasi (negoisator memang harus ahli di bidangnya atau
membawa ahli-ahlinya selama negoisasi).
·
Rasa curiga terhadap ras “barat”.
·
Menyukai perhatian tulus klien terhadap topik keluarga.
III. Pembahasan
Studi Kasus
Studi kasus yang dipaparkan oleh
Markus Pudelko dalam artikel “Cross-Cultural
Negotiation: Americans Negotiating A Contract in China” merupakan contoh
dua pendekatan budaya negosiasi bisnis. Di bagian ini, penulis berusaha
menjawab pertanyaan diskusi di akhir halaman artikel tersebut.
1.
Perbedaan
Pendekatan Budaya Negosiasi Bisnis Antara Amerika dan Cina
Dalam paparan yang dikemukakan
pihak Amerika (dalam hal ini direpresentasikan oleh Mr. Jones), terlihat bahwa
budaya negosiasi bisnis di Amerika adalah:
(1)
Langsung
pada inti masalah bisnis (straight to the
point), dalam artian mereka enggan untuk berlama-lama dalam ‘ritual’
penyambutan dan acara kekeluargaan lainnya yang dipersiapkan oleh pihak Cina;
(2)
Budaya
Amerika lebih menyukai hal-hal detail/rinci tentang segala hal yang menyangkut
kontrak bisnis;
(3)
Mitra
bisnis adalah mitra bisnis, bukan teman apalagi keluarga, jadi komunikasi pun
hanya sebatas bisnis, tidak perlu membicarakan hal-hal pribadi di luar bisnis;
(4)
Kesepakatan
bisnis harus diupayakan secepat mungkin, dalam artian tidak mau membuang-buang
waktu untuk hal-hal lain di luar bisnis;
(5)
Kontrak
bisnis tidak perlu melalui birokrasi yang panjang, apalagi melibatkan urusan
politik (pengurus partai komunis atau partai pemerintah lainnya);
(6)
Lebih
menyukai mitra bisnis yang menerangkan secara rinci tentang perusahaan mereka,
namun tetap menganggap mereka hanya sebatas rekan bisnis, bukan teman atau
keluarga;
(7)
Jika
terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam
kontrak, maka pengadilan adalah tempat penyelesaian terbaik;
(8)
Tidak
mau mencampuradukkan antara bisnis dengan politik/birokrasi, karena itu
dianggap sebagai ‘korupsi’;
(9)
Lebih
bisa menerima kritik yang membangun; dan
(10)
Dalam
pengambilan keputusan, seorang negosiator bisa langsung mengambil keputusan
sejauh tidak menyimpang dari kebijakan umum perusahaan.
Adapun budaya negosiasi di Cina
(yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Mr. Wang) adalah sebagai berikut:
(1)
Sesuai
dengan adat ketimuran dalam penyambutan tamu, maka rekan bisnis juga adalah
tamu yang harus disambut dengan kehangatan dan tidak perlu terburu-buru dengan
pembicaraan kontrak bisnis;
(2)
Orang
Cina lebih menyukai pembahasan prinsip-prinsip umum (general principles) yang akan menjadi tata nilai dalam semua kesepakatan
bisnis, adapun rincian kontrak kerja bisa dibicarakan setelah selesai
pembahasan prinsip-prinsip umum tersebut;
(3)
Mitra
bisnis adalah teman yang hubungannya bisa berlanjut setelah kontrak kerja
selesai, dan diperlukan pembicaraan masalah keluarga atau pribadi sebagai
selingan pembicaraan bisnis agar timbul keakraban;
(4)
Kesepakatan
bisnis adalah kesepakatan antara orang dengan orang, bukan benda mati, jadi
adalah penting untuk memperlakukan rekan bisnis sebagai seorang manusia yang
harus diketahui sifat-sifatnya. Perlakuan tersebut perlu waktu, tidak bisa
dilakukan sesingkat mungkin;
(5)
Negara
Cina dikuasai sepenuhnya oleh partai komunis, sehingga semua keputusan bisnis
harus melewati birokrasi partai;
(6)
Dalam pergaulan
sehari-hari, kejujuran adalah penting, namun dalam urusan bisnis ada hal-hal
yang harus dikemukakan dan ada yang tidak perlu diungkapkan secara rinci, dan
itulah yang disebut strategi bisnis;
(7)
Jika
terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam
kontrak, maka harus dicari arbitrase dengan memanggil pihak ketiga sebagai
penengah dan bukan langsung ke pengadilan;
(8)
Dalam
bisnis, ada yang dinamakan jaringan bisnis (guanxi)
dimana orang-orang yang berada dalam jaringan tersebut bis saling mendukung dan
mendapatkan kemudahan, dan itu bukanlah nepotisme atau korupsi;
(9)
Urusan
yang menyangkut negara atau budaya tidak perlu diukur oleh budaya lain,
sehingga dengan mudah bisa mengkritik aspek-aspek kehidupan di Cina; dan
(10)
Semua
keputusan bisnis, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan atasan (superiors).
2.
Kesalahan
Dalam Negosiasi Bisnis Lintas Budaya
Dalam kasus kesalahpahaman
antara Mr. Jones (pihak Amerika) dan Mr. Wang (pihak Cina), kesalahan terletak
di kedua pihak., yakni: (1) Kedua pihak tidak saling memahami budaya
masing-masing; (2) Kedua pihak merasa paling benar, terutama pihak Amerika yang
merasa lebih superior dan memaksakan agar pihak Cina mau mengikuti aturannya
karena merasa sebagai pihak yang akan memberikan kontrak kerja; (3) Jika sebuah
perusahaan akan melakukan negosiasi lintas budaya, maka negosiator yang harus
dikirim adalah orang yang etnis nya sama, sehingga tidak diperlukan seorang
penterjemah dan mereka akan salingmenghargai satu sama lain karena kesamaan
etnis.
3.
Karakteristik
Negosiator yang Baik
(1)
Percaya
diri;
(2)
Menghargai
orang lain termasuk menghargai budaya orang lain;
(3)
Mengetahui seluk-beluk calon rekan bisnis,
termasuk budaya dan lingkungannya;
(4)
Dapat
mengendalikan emosi;
(5)
Tidak
merasa sempurna, sehingga mau mendengarkan pendapat orang lain;
(6)
Ramah,
sopan, simpatik & humor;
(7)
Berpikir
positif;
(8)
Sabar,
ulet & tidak mudah putus asa; dan
(9)
Mencintai
& merasa memiliki
yang tinggi akan profesi yang
ditekuni
4.
Hal-hal
yang Harus Dipersiapkan Ketika Memulai Negosiasi Bisnis Lintas Budaya
(1)
Kedua
belah pihak harus mempelajari budaya dan keunikan lingkungan masing-masing;
(2)
Negosiator
harus bisa melihat dari sudut pandang rekan bisnis, sehingga ia bisa mengerti
jalan pikiran calon rekannya tersebut;
(3)
Negosiator
harus mengerti sistem bisnis yang dijalankan di negara rekan bisnis, sehingga
jika terjadi masalah, maka penyelesaiannya bisa menguntungkan kedua belah pihak
(wi-win solution), tanpa ada pihak
yang merasa tertipu.
IV. Daftar
Pustaka
Crump,
Larry. “Concurrently Linked Negotiations and Negotiation Theory: An Examination
of Bilateral Trade Negotiations in Australia, Singapore and the United States,”
(“makalah”) dalam The Occasional Paper series on Conflict Analysis and
Resolution (Conflict Analysis and Resolution program of Sabanci University,
June 2005).
Drucker,
Peter with Maciariello, Joseph A. (2008). Management (Revised Edition). New
York: Harper Collins Publisher.
Naisbit,
John. (1994). Global Paradox. New York: Time Magazine Publisher..
Odell, John
S. “The Negotiation Process and International Economic Organizations,”
(“makalah”) dipersiapkan untuk Annual Meeting of the American Political Science
Association (School of International Relations, University of Southern
California, September 2009), wwwrcf.usc.edu/~odell/APSA99.DOC [diakses tanggal
18 Juni 2013].
Patton,
Patricia. (2008). EQ di Tempat Kerja alih bahasa oleh Zaini Dahlan. Jakarta:
Pustaka Delaprasta.
Pudelko,
Markus. (2005). Cross-Cultural
Negotiation: Americans Negotiating A
Contract in China. Tubingen University.
Sujana,
Asep ST. (2004). Retail Negotiator Guidance. Jakarta: SUN Printing.
Susilo,
Taufik Adi (2008). China Connection. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Thill, John
V. and Bovee, Courtland. (2010). Excelence In Bussines Communications. New
York: Mc Graw Hill Inc.