Sunday, April 30, 2017

REVITALISASI TRAINING & DEVELOPMENT

REVITALISASI TRAINING & DEVELOPMENT
By
(Jasa Skripsi/Tesis/Disertasi: aruybiznet@gmail.com)
ABSTRAK
Kinerja pegawai merupakan faktor utama bagi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Pencapaian tujuan perusahaan melalui peningkatan kinerja SDM pada saat ini mengalami tantangan globalisasi, persaingan usaha dan tantangan teknologi baru. Berbagai tantangan tersebut harus dijawab oleh program training & development yang melibatkan trainer ahli serta didasarkan akan kebutuhan (needs) perusahaan. Program training & development tersebut juga harus disertai pengukuran indikator kinerja nya (KPI) agar bisa diukur efektifitasnya.
            Keywords: training & development, TNA, KPI.

I.       Latar Belakang
Jika pada abad 17 penemuan mesin uap membawa manusia kepada Revolusi Industri maka pada saat ini, internet dan kecanggihan sistem transportasi membawa manusia kepada Knowledge Era atau Abad Informasi dikarenakan begitu cepatnya pengetahuan (dalam segala bentuknya) tersebar ke seluruh penjuru dunia, tanpa mengenal batas wilayah, bahasa, budaya, kelas sosial, dan lain sebagainya. Menurut Manuel Castells (2010:10) dan  Anthony Giddens (2000), perubahan yang dibawa oleh dunia internet memunculkan istilah baru yang pada era 1980-an belum banyak dikenal, yakni Globalisasi. Kini istilah globalisasi menjadi familiar dalam komunitas bisnis internasional. Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Bisa dibilang bahwa globalisasi membawa perspektif baru tentang konsep "Dunia Tanpa Batas" (borderless worlds) yang saat ini menjadi realita dan sangat mempengaruhi perkembangan budaya manusia. Secara umum, globalisasi dapat diartikan sebagai keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin kabur.
Perubahan revolusioner di atas pada gilirannya menuntut perubahan juga dalam sistem kerja. Karena kecepatan arus informasi, maka karakteristik pekerja di abad ini akan berbeda dari pakem-pakem tradisional yang sudah ada. Menurut Alvin Toffler (1984), karakteristik pekerja di abad 21 (ia menyebutnya The Third Wave) berbeda dengan karakeristik pekerja di era industri (The Second Wave). Untuk membentuk karakteristik pekerja semacam itu, revitalisasi atas praktek training & development adalah kuncinya.
Pentingnya pengembangan pengetahuan dan keterampilan para pekerja semakin penting mengingat ketatnya persaingan usaha. Karena, seperti yang diutarakan oleh Michael Porter (2008), manajemen sumber daya menjadi salah satu titik sentral perusahaan dalam menggapai competitive advantage.
Menurut Raymond A. Noe et.al. (2010:vii-viii), berbagai tantangan yang dihadapi organisasi atau perusahaan pada saat ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama, tantangan kesinambungan usaha. Kesinambungan usaha mengacu pada kemampuan perusahaan untuk bertahan dan menghadapi lingkungan persaingan yang dinamis. Kesinambungan usaha bergantung pada berapanya kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan orang-orang yang memiliki kepentingan untuk melihat keberhasilan perusahaan.  Perusahaan-perusahaan mengandalkan para pekerja terampil sehingga mereka dapat produktif, kreatif, dan inovatif, serta mampu memberikan pelayanan berkualitas tinggi kepada pelanggan. Untuk menghadapi tantangan kesinambungan usaha ini, perusahaan harus terlibat dalam praktik-praktik MSDM guna memenuhi kebutuhan perusahaan dalam jangka pendek, dan disaat bersamaan dapat membantu memastikan keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang.
Kedua, tantangan global. Perusahaan-perusahaan harus siap bersaing dengan perusahaan dari seluruh dunia. Perusahaan harus mempertahankan pasar domestiknya dari para pesaing asing dan memperluas ruang lingkupnya agar dapat mencakup pasar global. Tuntutan ini hanya bisa dijawab oleh para pekerja yang berwawasan global pula.
Ketiga, tantangan teknologi. Perusahaan-perusahaan dapat memperoleh keuntungan jika menggunakan teknologi-teknologi baru, seperti teknologi e-procurement. Teknologi-teknologi baru tersebut dapat mengakibatkan para karyawan “bekerja lebih cerdas” sekaligus menyediakan produk dan jasa berkualitas tinggi serta lebih efisien kepada pelanggan. Perusahaan yang telah menyadari keuntungan terbesar dari teknologi baru akan menggunakan praktik-praktik MSDM yang mendukung pemanfaatan teknologi untuk menciptakan sistem pekerjaan berkinerja tinggi.
Menilik begitu pentingnya program training & development dalam sistem MSDM di sebuah perusahaan tidak dibarengi dengan mulusnya praktik di lapangan. Beberapa permasalah yang muncul adalah: (1) Pemahaman mengenai definisi training yang masih menyamakan training sama dengan kuliah di perguruan tinggi, sehingga kegiatan training di kelas berisi pembahasan konsep dan konsep; (2) Pemahaman mengenai fungsi dasar seorang trainer. Seorang trainer bukan dosen atau guru melainkan seorang yang ahli dalam merubah atau membentuk perilaku kerja di kelas selama berlangsungnya training agar peserta training nantinya dapat bekerja sesuai dengan Business KPI (Key Performance Indicator) yang telah ditetapkan. (3) Pengukuran hasil training yang hanya sampai pada penerapan di tempat kerja. Idealnya pengukuran dilakukan sampai ke Business Impact (sampai KPI-nya).
Permasalahan seputar kecelakaan kerja yang masih tinggi di Indonesia, menujukkan fakta kurangnya diklat yang diterima karyawan. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengakui bahwa tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih cukup tinggi dan berbagai ancaman keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di dalam proses produksi masih terjadi terutama di sektor jasa konstruksi. Menurutnya: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa melaksanakan dan menjaga K3, oleh karena itu 2013 menjadi momentum menuju 2015 Indonesia berbudaya K3. Penerapan SMK3 menjadi standar bagi pelaksanaan K3 dan kita berharap seluruh masyarakat dan para pelaku industri, pekerja pengusaha untuk menyadarkan diri setiap hari, setiap detik untuk menjaga K3," papar Muhaimin. Laporan ILO menyatakan setiap hari terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban fatal kurang lebih 6000 kasus, sementara di Indonesia dari setiap 100.000 tenaga kerja terdapat 20 orang menderita kecelakaan kerja fatal (www.antaranews.com, 02 April 2013).
            Dari kesenjangan antara harapan teoritik dan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka penulis tertarik untuk menggali topik permasalahan “Revitalisasi Training & Development”.


II.      Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah efektifitas hasil training dan development yang dilakukan perusahaan belum optimal.
III.    Tujuan Makalah
Adapun tujuan pokok makalah ini adalah memecahkan persoalan bagaimana meningkatkan efektifitas hasil training & development. Dari tujuan umum tersebut, penulis mencoba merumuskan tujuan spesifiknya sebagai berikut:
1.    Menjelaskan perbedaan pelatihan (training) dengan pendidikan atau perkuliahan;
2.    Menjelaskan perbedaan trainer dengan guru atau peran pengajar lainnya; dan
3.    Menjelaskan pentingnya Training Need Analysis beserta fase-fasenya.
IV.   Pembahasan
a.    Konsep Training
Menurut Kamil (2010:9), perbedaan antara pendidikan dari pelatihan adalah pertama, pendidikan merupakan aktivitas pemebelajaran yang lebih luas dan dalam dibandingkan pelatihan. Kedua, perlatihan lebih berkaitan dengan pengembangan keterampilan tertentu, sedangkan pendidikan lebih berkaitan dengan tingkatan-tingkatan pemahaman secara umum. Secara lebih rinci, Notoatmodjo (Kamil, 2010: 10) mengemukakan perbandiungan antara pendidikan dan pelatihan pada beberapa aspek. Pertama, pada aspek pengembangan kemampuan, pendidikan lebih menekankan pad pengembangan kemampuan yang menyeluruh (overall), sedangkan pelatihan lebih menekankan pengembangan kemampuan khusus (specific). Kedua, pada aspek area kemampuan, pendidikan menekankan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor; sedangkan pelatihan lebih menekankan pada kemampuan psikomotor. Ketiga, pada aspek jangka waktu pelaksanaan, pendidikan lebih bersifat jangka panjang (long term), sedangkan pelatihan lebih bersifat jangka pendek (short term). Keempat, pada aspek materi yang disampaikan, pendidikan lebih bersifat umum, sedangkan pelatihan lebih bersifat khusus. Kelima, pada aspek penggunaan metode, pendidikan lebih bersifat konvensional, sedangkan pelatihan bersifat inkonvensional. Keenam, pada aspek penghargaan akhir, pendidikan memberikan gelar, sedangkan pelatihan memberikan sertifikat.
Jadi pelatihan memang berbeda dengan perkuliahan di kelas, karena pelatihan lebih menekankan penguasaan keterampilan tertentu bukan pemahaman konseptual. Secara metafora dapat diibaratkan bahwa pendidikan itu “menguasai yang banyak namun sedikit-sedikit”, sedangkan pelatihan itu “menguasai yang sedikit namun banyak/mendalam”.
b.    Konsep Trainer
Orang sering bertanya, apa bedanya fasilitasi dengan training, mentoring, atau coaching?
Dalam praktiknya, metode-metode itu sudah saling tumpang tindih karena masing-masing telah belajar dari sesamanya dan saling tukar menukar teknik-teknik. Seorang fasilitator terkadang memanfaatkan teknik coaching pada suatu kesempatan dan demikian pula sebaliknya. Namun, di antara mereka tentu ada perbedaan-perbedaan yang sifatnya mendasar. Berikut adalah deskripsi istilah-istilah tersebut yang membedakan peran-perannya, disarikan dari buku Become a Learning Facilitator (Davis, 2004).
1.    Mentoring
Menjadi penasihat atau guru yang sangat dipercaya, khususnya di seputar topik yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Kerjanya cenderung one on one. Mentor cenderung mengajarkan hal-hal yang sebelumnya sudah mereka berhasil capai.
2.    Teaching
Menyampaikan pengetahuan atau keterampilan; menyediakan pengetahuan; menyiapkan kondisi untuk aksi atau sikap tertentu.
3.    Training
Melatih orang tentang suatu subjek, karenanya mereka harus ahli di subjek itu. Mereka menangani isi (keahlian/subjek yang dilatih) dan juga proses melatihnya.
4.    Coaching
Biasanya berbasis hubungan one-on-one di mana coach membantu klien untuk fokus dan mencapai tujuan-tujuannya lebih cepat dari pada klien berusaha sendirian. Coach adalah orang yang ahli dalam memfasilitasi pencapaian tujuan atau proses perkembangan diri klien, namun dia tidak perlu ahli benar dalam topik yang di-coach-nya. Coach biasanya membantu klien dengan menyediakan tools dan hal-hal yang dapat memotivasi dan membantu pencapaian.
5.    Counseling
Mirip dengan coaching, tapi yang menjadi fokus utama bukanlah peningkatan keterampilan klien, namun lebih ke kemauan (motivasi/ mental/ sikap).
6.    Facilitating
Fasilitator fokus pada pengembangan dan pengelolaan proses yang efektif yang membantu kelompok mencapai hasil yang mereka kehendaki. Fasilitator yang ahli kadang sama sekali tidak mengenal subjek/ isu yang menjadi pekerjaan kelompok yang difasilitasi, namun berhasil memfasilitasi kelompok mencapai tujuannya.
Dari uraian istilah di atas, seorang trainer haruslah orang yang ahli di suatu bidang (secara khusus ahli dalam keterampilan tertentu). Konsep ahli tersebut menyiratkan arti bahwa ia harus memiliki pengalaman atau jam terbang yang tinggi sehingga ia lebih mengetahui seluk beluk pekerjaan dalam bidangnya serta permasalahan apa yang sering muncul, tanpa harus menguasai konsepnya secara mendalam.
c.    Training Need Analysis (Analisis Kebutuhan Pelatihan)
Proses pelatihan akan berjalan lebih optimal jika diawali dengan analisa kebutuhan training yang tepat. Program pengembangan yang tepat dibutuhkan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud. Maka, analisa yang baik haruslah dilakukan. Proses yang harus dijalani ini adalah Training Need Analysis (TNA).
Secara definisi, Training Need Analysis adalah proses analisa dan identifikasi kebutuhan training dengan mengacu kepada standar yang diperlukan dan kondisi aktual saat ini (Miller and Osinski,2002) . Komponen utama TNA adalah :
1)    Kondisi Ideal (I)
Adalah sebuah kondisi atau standar yang telah ditetapkan, baik bersifat pekerjaan, organisasi, atau individual.
2)    Kondisi Aktual (A)
Adalah sebuah kondisi yang ada pada saat ini, apa adanya.
3)    Kondisi Defisiensi (D)
Adalah sebuah ‘jarak’ yang muncul sebagai akibat pembandingan antara Kondisi Ideal dengan Aktual.
Rumus sederhananya adalah:

I – A = D
 
 




Dalam praktiknya, terdapat tigas jenis analisa kebutuhan training atau training need analysis yang bisa di-eksplorasi, yakni: task-based analysis, person-based analysis, dan organizational-based analysis.
1)    Task Analysis
Analis yang berfokus pada kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi tertentu. Tugas dan tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan. Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis training semacam apa yang diperlukan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut.
Melalui metode task analysis ini, kita kemudian bisa menyusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat standar dan terpadu. Artinya, melalui analisa tugas dan spesifikasi yang dibutuhkan oleh setiap posisi, maka kita kemudian bisa merumuskan jenis-jenis pelatihan tertentu untuk setiap posisi tersebut. Beragam jenis pelatihan ini kemudian distandardkan dan menjadi pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap orang yang menduduki posisi tersebut.
2)    Person Analysis
Analis yang berfokus pada level kompetensi orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis training apa saja yang diperlukan untuk orang tersebut.
Dalam analisa ini biasanya telah ditetapkan beragam jenis kompetensi dan juga standar level kompetensi yang diperlukan untuk suatu posisi tertentu. Misal, untuk posisi manajer diperlukan penguasaan terhadap 8 jenis kompetensi (misal, kompetensi leadership, communication skills, dll). Kemudian juga telah ditetapkan, bagi para manajer maka standard level untuk ke-8 jenis kompetensi itu adalah 5 (dari skala 1 – 5). Langkah berikutnya adalah para manajer akan di-ases untuk melihat level kompetensi-nya, apakah ia sudah berada pada level 5 untuk semua jenis kompetensi itu atau belum. Jika belum, pada jenis kompetensi apa saja. Misal, ia masih perlu perbaikan dalam kompetensi communication skills. Maka bagi yang bersangkutan diberikan training mengenai communication skills.

3)    Organizational Analysis
Analisa kebutuhan pelatihan yang didasarkan pada kebutuhan strategis perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan strategis perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok:
Ø  Corporate Strategy
Ø  Corporate Values
Sebagai misal, sebuah bank akan lebih agresif untuk memasuki pasar usaha kecil dan menengah. Untuk itu diperlukan keahlian dalam membidik pasar UKM. Disini pihak pengelola training bisa merancang serangkaian training yang ditujukan untuk membekali para bankirnya dengan kemampuan teknis mengenai UKM.
Contoh lain, sebuah perusahaan memiliki budaya perusahaan dimana salah satu elemen values yang ingin dikembangkan adalah customer focus. Berdasar ini maka pihak pengelola training bisa merancang program pelatihan customer service, dan mewajibkan segenap karyawan pada semua level untuk mengikuti program pelatihan ini.
Sehubungan dengan masalah ini, Thayer (2000:37), menganalisis TNA dalam tiga fase analisis, yaitu:
(1) analysis at the organizational level is used to determine where training can and should be used. The focus is the total enterprise and the analysis will look at things like the organizational objective, the pool of skills presently available, indicate of effectiveness and the organizational climate; (2) analysis at the job level involves collecting data about a particular job or group of jobs. The analysis will determine what standards are required and what knowledge, skills and attitudes are required in order to achieve this standards; and (3) the focus of person analysis is how well a particular employee is carrying out the various tasks which are necessary for- successful performance.

Analisis training needs assessment tersebut dilaksanakan pada tiga fase analisis, yaitu:
(1)  Analisis pada tahap organisasional digunakan untuk menentukan di mana pelatihan dapat dan harus dilakukan. Fokusnya adalah perusahaan secara keseluruhan dan analisisnya akan berkaitan dengan tujuan-tujuan perusahaan. Keterampilan apa saja yang saat ini bisa dimanfaatkan, indikator keefektifannya dan iklim organisasi perusahaan.
(2)  Analisis pada tingkat pekerjaan melibatkan pengumpulan data tentang pekerjaan atau kelompok pekerjaan tertentu. Analisisnya akan menentukan standar apa yang diperlukan; dan pengetahuan, keterampilan serta sikap apa yang dibutuhkan untuk mencapai standar tersebut.
(3)  Fokus analisis orang/analisis pribadi. Analisis pribadi dilakukan untuk menjawab pertanyaan: siapa yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan?  dan jenis diklatnya yang bagaimana?. Untuk ini diperlukan waktu, guna mengadakan diagnosis yang lengkap tentang masing-masing kemampuan pegawai. Upaya yang perlu dilakukan guna memperoleh informasi ini yaitu melalui achievement test, observasi, dan wawancara.
d.    Key Performance Indicator (KPI)
Penggunaan KPI saat ini sudah menjadi keharusan dibanyak perusahaan dan menjadi sebuah kesadaran baru untuk mulai melakukan pengukuran terhadap perencanaan strategis yang sudah ditetapkan. Tetapi dalam prakteknya pemahaman tentang KPI sangat memprihatikan.
Dampak dari ketidak pahaman tentang KPI memnyebabkan tidak berfungsinya alat pengukuran ini untuk membantu management dalam melakukan monitoring, controlling dan evaluasi ketercapaian sasaran yang sudah ditetapkan. KPI tidak lebih hanya dianggap sebagai "trend" semata, mirip dengan trend-2 busana yang digandrungi para remaja putri.
1.    Fungsi KPI
Key Performance Indicator, adalah sebuah indikator yang menunjukkan  kinerja (performance) sebuah organisasi atau bagian dari organisasi termasuk kinerja seorang job holder. Fungsi dari KPI menjadi sebuah alat ukur (measure tool) yang tentu saja jenis atau bentuknya disesuaikan dengan "hal" yang diukur.
Sebagai contoh sederhana bentuk KPI adalah sebagai berikut :
  • Hal yang akan diukur : Suhu Badan, maka alat ukur (KPI)-nya adalah Termometer
  • Hal yang akan diukur : Berat Badan, maka alat ukur (KPI)-nya adalah Timbangan Badan
Contoh sederhana diatas menunjukan bagaimana jenis atau bentuk KPI sangat tergantung dari apa yang akan diukur, karena itu sangat penting sekali untuk menentukan terlebih dahulu "apa" atau "hal apa" yang akan diukur sebelum menentukan pengukuran atau alat ukur atau KPI-nya.
Dalam strategic management, maka yang menjadi subyek untuk diukur adalah strategy (korporat) atau dalam bentuk strategic objectives atau sasaran strategis (divisional, sbu, atau dept. level). Dalam Quality Management System (ISO), subyek yang akan diukur namanya adalah Quality Objectives atau sasaran mutu.
2.    Beberapa Jenis KPI
Beberapa jenis KPI yang familiar atau biasa digunakan dalam dunia praktis adalah sebagai berikut :
1)     KPI Eksak. KPI Eksak adalah KPI yang sangat dekat derajat kebenarannya dalam mengindikasikan kinerja dari Sasaran yang diukur. Dalam bahasa yang gampang, KPI Eksak adalah KPI yang paling bagus karena hampir pasti hasil valid alias dapat dipertanggung jawabkan. Kelemahan dari KPI eksak adalah selain karena memakan banyak waktu, juga memerlukan biaya yang cukup tinggi (walaupun tidak semua). Salah satu contoh jenis KPI eksak misalnya Sasaran-nya adalah Peningkatan Kepuasan Pelanggan maka KPISurvey Kepuasan Pelanggan.
2)     KPI Proksi. KPI jenis ini banyak sekali digunakan karena selain simple, tidak memakan banyak waktu dan biaya tetapi derajad keberannya lebih rendah dari KPI Eksak. Agar KPI Proksi poweful, maka jangan hanya menggunakan satu KPI Proksi saja untuk mengukur sebuah sasaran, tetapi gunakan KPI Proksi yang lain sebagai pengukuran dalam perspektif yang lain. Contoh KPI Proksi adalah untuk mengukur sasaran "Meningkatkan Kepuasan Pelanggan", maka beberapa KPI Proksi-nya adalah "Jumlah Retain Customer, Jumlah Customer Complain, Jumlah Retur, dll"
3)     KPI Aktifitas. Nama-nya saja aktifitas, maka KPI ini hanya mengukur hal-2 dari  sebuah aktifitas atau kegiatan yang berdampak Sasaran, seperti waktu, jumlah, atau biayanya. Contoh KPI ini adalah : "Jumlah Kunjungan ke Customer, Jumlah Gathering, Jumlah Call, dll"
4)     Selain itu KPI juga dibedakan atas KPI Hasil (lagging) dan KPI Proses (leading). KPI Hasil adalah KPI yang mengukur hasil, seperti New Customer, Percentage Retain Customer, Competency Index, sedangkan KPI Proses adalah KPI yang lebih berorientasi dari proses, seperti Visit to Customer, Gathering, Training Hour, dan lain-lain.
V.     Kesimpulan
1.    Pendidikan lebih berfokus pada pemahaman konseptual, sedangkan pelatihan fokus pada penguasaan keterampilan tertentu.
2.    Seorang trainer merupakan orang yang ahli di suatu bidang karena lamanya pengalaman kerja di bidang tersebut, sehingga ia mengetahui setiap detil mekanisme pekerjaannya dan mampu memecahkan permasalahan yang timbul di lapangan.
3.    Cara menyusun program training setelah melalui proses TNA idealnya diikuti dengan menyusun Sasaran Training yang bersifat Behavioral Statement. Langkah Selanjutnya adalah penyusunan Instrumen Evaluasi yang juga bersifat Behavioral Asessment sebelum menyusun modul training.
4.    Setiap training & development hendaknya disertai dengan KPI yang jelas dan dapat diukur (measurable), sehingga sasaran-sasaran yang hendak dicapai melalui training & development menjadi jelas dan efektifitasnya bisa diukur.

Daftar Pustaka
Castells, Manuel. (2010). The Rise of the Network Society, The Information Age: Economy, Society and Culture. Vol. I. Cambridge, MA; Oxford, UK: Blackwell.
Davis, Steve. (2004). Become a Learning Facilitator. USA: FacilitatorU Press.
Giddens, Anthony. (2000). Runaway World. London: Routledge.
Kamil, Mustofa. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta.
Noe, Raymond A. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia: Mencapai Keunggulan Bersaing, alih bahasa: David Wijaya. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Porter, Michael E. (2008). Keunggulan Bersaing: Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul, alih bahasa: Tim Penerbit Karisma. Tanggerang: Karisma Publishing Group.
Thayer, R. E. (2000). Encyclopedia of Psychology. Washington, D.C.: Oxford University Press and American Psychological Association.

Toffler, Alvin. (1984). The Third Wave. USA: Bantam Books.