REVITALISASI TRAINING & DEVELOPMENT
By
(Jasa Skripsi/Tesis/Disertasi: aruybiznet@gmail.com)
(Jasa Skripsi/Tesis/Disertasi: aruybiznet@gmail.com)
ABSTRAK
Kinerja pegawai merupakan faktor utama
bagi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Pencapaian tujuan perusahaan melalui
peningkatan kinerja SDM pada saat ini mengalami tantangan globalisasi,
persaingan usaha dan tantangan teknologi baru. Berbagai tantangan tersebut
harus dijawab oleh program training & development yang melibatkan trainer
ahli serta didasarkan akan kebutuhan (needs) perusahaan. Program training &
development tersebut juga harus disertai pengukuran indikator kinerja nya (KPI)
agar bisa diukur efektifitasnya.
Keywords: training & development, TNA, KPI.
I. Latar Belakang
Jika pada abad 17 penemuan mesin uap
membawa manusia kepada Revolusi Industri maka pada saat ini, internet dan
kecanggihan sistem transportasi membawa manusia kepada Knowledge Era
atau Abad Informasi dikarenakan begitu cepatnya pengetahuan (dalam segala
bentuknya) tersebar ke seluruh penjuru dunia, tanpa mengenal batas wilayah,
bahasa, budaya, kelas sosial, dan lain sebagainya. Menurut Manuel Castells
(2010:10) dan Anthony Giddens (2000), perubahan yang dibawa
oleh dunia internet memunculkan istilah baru yang pada era 1980-an belum banyak
dikenal, yakni Globalisasi. Kini istilah globalisasi menjadi familiar dalam
komunitas bisnis internasional. Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh
dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang
akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai halangan
dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu
sama lain. Bisa dibilang bahwa globalisasi membawa perspektif baru tentang
konsep "Dunia Tanpa Batas" (borderless
worlds) yang saat ini menjadi realita dan sangat mempengaruhi perkembangan
budaya manusia. Secara umum, globalisasi dapat
diartikan sebagai keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia
di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer,
dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi
semakin kabur.
Perubahan revolusioner di atas pada
gilirannya menuntut perubahan juga dalam sistem kerja. Karena kecepatan arus
informasi, maka karakteristik pekerja di abad ini akan berbeda dari pakem-pakem
tradisional yang sudah ada. Menurut Alvin Toffler (1984), karakteristik pekerja
di abad 21 (ia menyebutnya The Third Wave)
berbeda dengan karakeristik pekerja di era industri (The Second Wave). Untuk membentuk karakteristik pekerja semacam
itu, revitalisasi atas praktek training & development adalah kuncinya.
Pentingnya pengembangan pengetahuan
dan keterampilan para pekerja semakin penting mengingat ketatnya persaingan
usaha. Karena, seperti yang diutarakan oleh Michael Porter (2008), manajemen
sumber daya menjadi salah satu titik sentral perusahaan dalam menggapai competitive advantage.
Menurut Raymond A. Noe et.al. (2010:vii-viii), berbagai
tantangan yang dihadapi organisasi atau perusahaan pada saat ini dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama,
tantangan kesinambungan usaha. Kesinambungan usaha mengacu pada kemampuan
perusahaan untuk bertahan dan menghadapi lingkungan persaingan yang dinamis.
Kesinambungan usaha bergantung pada berapanya kemampuan perusahaan memenuhi
kebutuhan orang-orang yang memiliki kepentingan untuk melihat keberhasilan
perusahaan. Perusahaan-perusahaan
mengandalkan para pekerja terampil sehingga mereka dapat produktif, kreatif,
dan inovatif, serta mampu memberikan pelayanan berkualitas tinggi kepada
pelanggan. Untuk menghadapi tantangan kesinambungan usaha ini, perusahaan harus
terlibat dalam praktik-praktik MSDM guna memenuhi kebutuhan perusahaan dalam
jangka pendek, dan disaat bersamaan dapat membantu memastikan keberhasilan
perusahaan dalam jangka panjang.
Kedua,
tantangan global. Perusahaan-perusahaan harus siap bersaing dengan perusahaan
dari seluruh dunia. Perusahaan harus mempertahankan pasar domestiknya dari para
pesaing asing dan memperluas ruang lingkupnya agar dapat mencakup pasar global.
Tuntutan ini hanya bisa dijawab oleh para pekerja yang berwawasan global pula.
Ketiga, tantangan
teknologi. Perusahaan-perusahaan dapat memperoleh keuntungan jika menggunakan
teknologi-teknologi baru, seperti teknologi e-procurement.
Teknologi-teknologi baru tersebut dapat mengakibatkan para karyawan “bekerja
lebih cerdas” sekaligus menyediakan produk dan jasa berkualitas tinggi serta
lebih efisien kepada pelanggan. Perusahaan yang telah menyadari keuntungan
terbesar dari teknologi baru akan menggunakan praktik-praktik MSDM yang
mendukung pemanfaatan teknologi untuk menciptakan sistem pekerjaan berkinerja
tinggi.
Menilik begitu pentingnya program
training & development dalam sistem MSDM di sebuah perusahaan tidak
dibarengi dengan mulusnya praktik di lapangan. Beberapa permasalah yang muncul
adalah: (1) Pemahaman mengenai definisi training yang
masih menyamakan training sama dengan kuliah di perguruan tinggi, sehingga
kegiatan training di kelas berisi pembahasan konsep dan konsep; (2) Pemahaman
mengenai fungsi dasar seorang trainer.
Seorang trainer bukan dosen atau guru melainkan seorang yang ahli dalam merubah
atau membentuk perilaku kerja di kelas selama berlangsungnya training agar
peserta training nantinya dapat bekerja sesuai dengan Business KPI (Key Performance Indicator) yang telah
ditetapkan. (3) Pengukuran hasil training yang hanya sampai pada penerapan di
tempat kerja. Idealnya pengukuran dilakukan sampai ke Business Impact (sampai KPI-nya).
Permasalahan seputar kecelakaan kerja yang masih tinggi di Indonesia,
menujukkan fakta kurangnya diklat yang diterima karyawan. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
Muhaimin Iskandar mengakui bahwa tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih
cukup tinggi dan berbagai ancaman keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di dalam
proses produksi masih terjadi terutama di sektor jasa konstruksi. Menurutnya:
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa melaksanakan dan menjaga K3,
oleh karena itu 2013 menjadi momentum menuju 2015 Indonesia berbudaya K3.
Penerapan SMK3 menjadi standar bagi pelaksanaan K3 dan kita berharap seluruh
masyarakat dan para pelaku industri, pekerja pengusaha untuk menyadarkan diri
setiap hari, setiap detik untuk menjaga K3," papar Muhaimin. Laporan ILO
menyatakan setiap hari terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban fatal
kurang lebih 6000 kasus, sementara di Indonesia dari setiap 100.000 tenaga
kerja terdapat 20 orang menderita kecelakaan kerja fatal (www.antaranews.com, 02 April 2013).
Dari kesenjangan antara
harapan teoritik dan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka penulis tertarik
untuk menggali topik permasalahan “Revitalisasi Training & Development”.
II. Masalah
Dari uraian latar belakang masalah
di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
efektifitas hasil training dan development yang dilakukan perusahaan belum
optimal.
III. Tujuan Makalah
Adapun tujuan pokok makalah ini
adalah memecahkan persoalan bagaimana meningkatkan efektifitas hasil training
& development. Dari tujuan umum tersebut, penulis mencoba merumuskan tujuan
spesifiknya sebagai berikut:
1. Menjelaskan perbedaan pelatihan (training) dengan pendidikan atau
perkuliahan;
2. Menjelaskan perbedaan trainer dengan
guru atau peran pengajar lainnya; dan
3. Menjelaskan pentingnya Training Need Analysis beserta
fase-fasenya.
IV. Pembahasan
a.
Konsep Training
Menurut Kamil (2010:9), perbedaan
antara pendidikan dari pelatihan adalah pertama,
pendidikan merupakan aktivitas pemebelajaran yang lebih luas dan dalam
dibandingkan pelatihan. Kedua,
perlatihan lebih berkaitan dengan pengembangan keterampilan tertentu, sedangkan
pendidikan lebih berkaitan dengan tingkatan-tingkatan pemahaman secara umum.
Secara lebih rinci, Notoatmodjo (Kamil, 2010: 10) mengemukakan perbandiungan
antara pendidikan dan pelatihan pada beberapa aspek. Pertama, pada aspek pengembangan kemampuan, pendidikan lebih
menekankan pad pengembangan kemampuan yang menyeluruh (overall), sedangkan pelatihan lebih menekankan pengembangan
kemampuan khusus (specific). Kedua, pada aspek area kemampuan,
pendidikan menekankan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor;
sedangkan pelatihan lebih menekankan pada kemampuan psikomotor. Ketiga, pada aspek jangka waktu
pelaksanaan, pendidikan lebih bersifat jangka panjang (long term), sedangkan pelatihan lebih bersifat jangka pendek (short term). Keempat, pada aspek materi yang disampaikan, pendidikan lebih
bersifat umum, sedangkan pelatihan lebih bersifat khusus. Kelima, pada aspek penggunaan metode, pendidikan lebih bersifat
konvensional, sedangkan pelatihan bersifat inkonvensional. Keenam, pada aspek penghargaan akhir, pendidikan memberikan gelar,
sedangkan pelatihan memberikan sertifikat.
Jadi pelatihan memang berbeda dengan
perkuliahan di kelas, karena pelatihan lebih menekankan penguasaan keterampilan
tertentu bukan pemahaman konseptual. Secara metafora dapat diibaratkan bahwa
pendidikan itu “menguasai yang banyak namun sedikit-sedikit”, sedangkan
pelatihan itu “menguasai yang sedikit namun banyak/mendalam”.
b.
Konsep Trainer
Orang sering
bertanya, apa bedanya fasilitasi dengan training,
mentoring, atau coaching?
Dalam praktiknya,
metode-metode itu sudah saling tumpang tindih karena masing-masing telah
belajar dari sesamanya dan saling tukar menukar teknik-teknik. Seorang
fasilitator terkadang memanfaatkan teknik coaching
pada suatu kesempatan dan demikian pula sebaliknya. Namun, di antara mereka
tentu ada perbedaan-perbedaan yang sifatnya mendasar. Berikut adalah deskripsi istilah-istilah
tersebut yang membedakan peran-perannya, disarikan dari buku Become a Learning Facilitator (Davis,
2004).
1.
Mentoring
Menjadi penasihat atau guru yang sangat
dipercaya, khususnya di seputar topik yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang. Kerjanya cenderung one
on one. Mentor cenderung mengajarkan hal-hal yang sebelumnya sudah
mereka berhasil capai.
2.
Teaching
Menyampaikan pengetahuan atau keterampilan;
menyediakan pengetahuan; menyiapkan kondisi untuk aksi atau sikap tertentu.
3.
Training
Melatih orang tentang suatu subjek,
karenanya mereka harus ahli di subjek itu. Mereka menangani isi
(keahlian/subjek yang dilatih) dan juga proses melatihnya.
4.
Coaching
Biasanya berbasis hubungan one-on-one di mana coach membantu klien untuk
fokus dan mencapai tujuan-tujuannya lebih cepat dari pada klien berusaha
sendirian. Coach
adalah orang yang ahli dalam memfasilitasi pencapaian tujuan atau proses
perkembangan diri klien, namun dia tidak perlu ahli benar dalam topik yang di-coach-nya. Coach biasanya membantu
klien dengan menyediakan tools
dan hal-hal yang dapat memotivasi dan membantu pencapaian.
5.
Counseling
Mirip dengan coaching, tapi yang menjadi fokus utama
bukanlah peningkatan keterampilan klien, namun lebih ke kemauan (motivasi/
mental/ sikap).
6.
Facilitating
Fasilitator fokus pada pengembangan dan
pengelolaan proses yang efektif yang membantu kelompok mencapai hasil yang
mereka kehendaki. Fasilitator yang ahli kadang sama sekali tidak mengenal
subjek/ isu yang menjadi pekerjaan kelompok yang difasilitasi, namun berhasil
memfasilitasi kelompok mencapai tujuannya.
Dari uraian istilah di atas,
seorang trainer haruslah orang yang ahli di suatu bidang (secara khusus ahli
dalam keterampilan tertentu). Konsep ahli tersebut menyiratkan arti bahwa ia
harus memiliki pengalaman atau jam terbang yang tinggi sehingga ia lebih
mengetahui seluk beluk pekerjaan dalam bidangnya serta permasalahan apa yang sering
muncul, tanpa harus menguasai konsepnya secara mendalam.
c.
Training Need Analysis (Analisis
Kebutuhan Pelatihan)
Proses pelatihan akan berjalan lebih
optimal jika diawali dengan analisa kebutuhan training yang tepat. Program pengembangan yang tepat dibutuhkan agar
hasil yang diharapkan dapat terwujud. Maka, analisa yang baik haruslah
dilakukan. Proses yang harus dijalani ini adalah Training Need Analysis
(TNA).
Secara definisi, Training Need Analysis adalah proses
analisa dan identifikasi kebutuhan training dengan mengacu kepada standar yang
diperlukan dan kondisi aktual saat ini (Miller and Osinski,2002) . Komponen utama TNA adalah :
1)
Kondisi
Ideal (I)
Adalah sebuah kondisi atau standar yang telah
ditetapkan, baik bersifat pekerjaan, organisasi, atau individual.
2)
Kondisi
Aktual (A)
Adalah sebuah kondisi yang ada pada saat ini,
apa adanya.
3)
Kondisi
Defisiensi (D)
Adalah sebuah ‘jarak’ yang muncul sebagai akibat
pembandingan antara Kondisi Ideal dengan Aktual.
Rumus sederhananya
adalah:
|
Dalam praktiknya, terdapat
tigas jenis analisa kebutuhan training atau training need
analysis
yang bisa di-eksplorasi, yakni: task-based analysis, person-based analysis, dan
organizational-based analysis.
1)
Task Analysis
Analis yang berfokus pada
kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi tertentu. Tugas dan
tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang
dibutuhkan. Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis training semacam apa
yang diperlukan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas
posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut.
Melalui metode task analysis
ini, kita kemudian bisa menyusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat
standar dan terpadu. Artinya, melalui analisa tugas dan spesifikasi yang
dibutuhkan oleh setiap posisi, maka kita kemudian bisa merumuskan jenis-jenis
pelatihan tertentu untuk setiap posisi tersebut. Beragam jenis pelatihan ini
kemudian distandardkan dan menjadi pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap
orang yang menduduki posisi tersebut.
2)
Person Analysis
Analis yang berfokus pada
level kompetensi orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk
mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang
tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis training apa saja yang
diperlukan untuk orang tersebut.
Dalam analisa ini biasanya
telah ditetapkan beragam jenis kompetensi dan juga standar level kompetensi
yang diperlukan untuk suatu posisi tertentu. Misal, untuk posisi manajer
diperlukan penguasaan terhadap 8 jenis kompetensi (misal, kompetensi
leadership, communication skills, dll). Kemudian juga telah ditetapkan, bagi
para manajer maka standard level untuk ke-8 jenis kompetensi itu adalah 5 (dari
skala 1 – 5). Langkah berikutnya adalah para manajer akan di-ases untuk melihat
level kompetensi-nya, apakah ia sudah berada pada level 5 untuk semua jenis
kompetensi itu atau belum. Jika belum, pada jenis kompetensi apa saja. Misal,
ia masih perlu perbaikan dalam kompetensi communication skills. Maka bagi yang
bersangkutan diberikan training mengenai communication skills.
3)
Organizational Analysis
Analisa kebutuhan pelatihan yang
didasarkan pada kebutuhan strategis perusahaan dalam merespon dinamika bisnis
masa depan. Kebutuhan strategis perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua
elemen pokok:
Ø Corporate Strategy
Ø Corporate Values
Sebagai misal, sebuah bank
akan lebih agresif untuk memasuki pasar usaha kecil dan menengah. Untuk itu
diperlukan keahlian dalam membidik pasar UKM. Disini pihak pengelola training
bisa merancang serangkaian training yang ditujukan untuk membekali para
bankirnya dengan kemampuan teknis mengenai UKM.
Contoh lain, sebuah perusahaan
memiliki budaya perusahaan dimana salah satu elemen values yang ingin
dikembangkan adalah customer focus. Berdasar ini maka pihak pengelola training
bisa merancang program pelatihan customer service, dan mewajibkan segenap karyawan
pada semua level untuk mengikuti program pelatihan ini.
Sehubungan dengan masalah ini, Thayer
(2000:37), menganalisis TNA dalam
tiga fase analisis, yaitu:
(1) analysis at the organizational level is
used to determine where training can and should be used. The focus is the total
enterprise and the analysis will look at things like the organizational
objective, the pool of skills presently available, indicate of effectiveness
and the organizational climate; (2) analysis at the job level involves collecting
data about a particular job or group of jobs. The analysis will determine what
standards are required and what knowledge, skills and attitudes are required in
order to achieve this standards; and (3) the focus of person analysis is how
well a particular employee is carrying out the various tasks which are
necessary for- successful performance.
Analisis training needs assessment tersebut
dilaksanakan pada tiga fase analisis, yaitu:
(1) Analisis
pada tahap organisasional digunakan untuk menentukan di mana pelatihan dapat
dan harus dilakukan. Fokusnya adalah perusahaan secara keseluruhan dan
analisisnya akan berkaitan dengan tujuan-tujuan perusahaan. Keterampilan apa
saja yang saat ini bisa dimanfaatkan, indikator keefektifannya dan iklim
organisasi perusahaan.
(2) Analisis
pada tingkat pekerjaan melibatkan pengumpulan data tentang pekerjaan atau
kelompok pekerjaan tertentu. Analisisnya akan menentukan standar apa yang
diperlukan; dan pengetahuan, keterampilan serta sikap apa yang dibutuhkan untuk
mencapai standar tersebut.
(3) Fokus
analisis orang/analisis pribadi. Analisis pribadi dilakukan untuk menjawab
pertanyaan: siapa yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan? dan jenis diklatnya yang bagaimana?. Untuk ini
diperlukan waktu, guna mengadakan diagnosis yang lengkap tentang masing-masing
kemampuan pegawai. Upaya yang perlu dilakukan guna memperoleh informasi ini
yaitu melalui achievement test, observasi, dan wawancara.
d.
Key
Performance Indicator (KPI)
Penggunaan KPI saat ini sudah menjadi keharusan
dibanyak perusahaan dan menjadi sebuah kesadaran baru untuk mulai melakukan
pengukuran terhadap perencanaan strategis yang sudah ditetapkan. Tetapi dalam
prakteknya pemahaman tentang KPI sangat memprihatikan.
Dampak dari ketidak pahaman tentang KPI
memnyebabkan tidak berfungsinya alat pengukuran ini untuk membantu management
dalam melakukan monitoring, controlling dan evaluasi ketercapaian sasaran yang
sudah ditetapkan. KPI tidak lebih hanya dianggap sebagai "trend"
semata, mirip dengan trend-2 busana yang digandrungi para remaja putri.
1. Fungsi KPI
Key Performance Indicator, adalah sebuah
indikator yang menunjukkan kinerja (performance) sebuah organisasi atau
bagian dari organisasi termasuk kinerja seorang job holder. Fungsi dari KPI
menjadi sebuah alat ukur (measure tool) yang tentu saja jenis atau bentuknya disesuaikan
dengan "hal" yang diukur.
Sebagai contoh sederhana bentuk KPI adalah
sebagai berikut :
- Hal yang akan diukur :
Suhu Badan, maka alat ukur (KPI)-nya adalah Termometer
- Hal yang akan diukur :
Berat Badan, maka alat ukur (KPI)-nya adalah Timbangan Badan
Contoh sederhana diatas menunjukan bagaimana
jenis atau bentuk KPI sangat tergantung dari apa yang akan diukur, karena itu
sangat penting sekali untuk menentukan terlebih dahulu "apa" atau
"hal apa" yang akan diukur sebelum menentukan pengukuran atau alat
ukur atau KPI-nya.
Dalam strategic management, maka yang menjadi
subyek untuk diukur adalah strategy (korporat) atau dalam bentuk strategic objectives
atau sasaran strategis (divisional, sbu, atau dept. level). Dalam Quality
Management System (ISO), subyek yang akan diukur namanya adalah Quality
Objectives atau sasaran mutu.
2. Beberapa Jenis KPI
Beberapa jenis KPI yang familiar atau biasa
digunakan dalam dunia praktis adalah sebagai berikut :
1)
KPI
Eksak. KPI Eksak adalah KPI yang sangat dekat derajat kebenarannya dalam
mengindikasikan kinerja dari Sasaran yang diukur. Dalam bahasa yang gampang,
KPI Eksak adalah KPI yang paling bagus karena hampir pasti hasil valid alias
dapat dipertanggung jawabkan. Kelemahan dari KPI eksak adalah selain karena
memakan banyak waktu, juga memerlukan biaya yang cukup tinggi (walaupun tidak
semua). Salah satu contoh jenis KPI eksak misalnya Sasaran-nya adalah
Peningkatan Kepuasan Pelanggan maka KPISurvey Kepuasan Pelanggan.
2)
KPI
Proksi. KPI jenis ini banyak sekali digunakan karena selain simple, tidak
memakan banyak waktu dan biaya tetapi derajad keberannya lebih rendah dari KPI
Eksak. Agar KPI Proksi poweful, maka jangan hanya menggunakan satu KPI Proksi
saja untuk mengukur sebuah sasaran, tetapi gunakan KPI Proksi yang lain sebagai
pengukuran dalam perspektif yang lain. Contoh KPI Proksi adalah untuk mengukur
sasaran "Meningkatkan Kepuasan Pelanggan", maka beberapa KPI Proksi-nya
adalah "Jumlah Retain Customer, Jumlah Customer Complain, Jumlah Retur,
dll"
3)
KPI
Aktifitas. Nama-nya saja aktifitas, maka KPI ini hanya mengukur hal-2
dari sebuah aktifitas atau kegiatan yang berdampak Sasaran, seperti
waktu, jumlah, atau biayanya. Contoh KPI ini adalah : "Jumlah Kunjungan ke
Customer, Jumlah Gathering, Jumlah Call, dll"
4)
Selain
itu KPI juga dibedakan atas KPI Hasil (lagging) dan KPI Proses (leading). KPI
Hasil adalah KPI yang mengukur hasil, seperti New Customer, Percentage Retain Customer,
Competency Index, sedangkan KPI Proses adalah KPI yang lebih berorientasi dari
proses, seperti Visit to Customer, Gathering, Training Hour, dan lain-lain.
V. Kesimpulan
1. Pendidikan lebih berfokus pada pemahaman
konseptual, sedangkan pelatihan fokus pada penguasaan keterampilan
tertentu.
2. Seorang trainer merupakan orang yang
ahli di suatu bidang karena lamanya pengalaman kerja di bidang tersebut,
sehingga ia mengetahui setiap detil mekanisme pekerjaannya dan mampu memecahkan
permasalahan yang timbul di lapangan.
3. Cara menyusun program training setelah melalui proses TNA idealnya diikuti dengan
menyusun Sasaran Training yang bersifat Behavioral Statement. Langkah
Selanjutnya adalah penyusunan Instrumen Evaluasi yang juga bersifat Behavioral
Asessment sebelum menyusun modul training.
4. Setiap training & development
hendaknya disertai dengan KPI yang jelas dan dapat diukur (measurable), sehingga sasaran-sasaran yang hendak dicapai melalui
training & development menjadi jelas dan efektifitasnya bisa diukur.
Daftar Pustaka
Castells, Manuel. (2010). The Rise of the Network Society, The
Information Age: Economy, Society and Culture. Vol. I. Cambridge, MA;
Oxford, UK: Blackwell.
Davis, Steve. (2004). Become a Learning Facilitator. USA: FacilitatorU Press.
Giddens, Anthony. (2000). Runaway World. London: Routledge.
Kamil, Mustofa. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung:
Alfabeta.
Noe, Raymond A. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia: Mencapai Keunggulan Bersaing, alih
bahasa: David Wijaya. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Porter, Michael E. (2008). Keunggulan Bersaing: Menciptakan dan
Mempertahankan Kinerja Unggul, alih bahasa: Tim Penerbit Karisma.
Tanggerang: Karisma Publishing Group.
Thayer,
R. E. (2000). Encyclopedia of Psychology.
Washington, D.C.: Oxford University Press and American Psychological
Association.
Toffler, Alvin. (1984). The Third Wave. USA: Bantam Books.