Saturday, June 3, 2017

BUDAYA NEGOSIASI BISNIS: STUDI KASUS AMERIKA DAN CINA



BUDAYA NEGOSIASI BISNIS: STUDI KASUS AMERIKA DAN CINA
by
(Jasa Skripsi/Tesis/Disertasi: aruybiznet@gmail.com)

ABSTRAK
Negosiasi menjadi salah salah kunci yang harus dikuasai pelaku bisnis multinasional untuk menaklukan pasar-pasar baru yang menggiurkan. Adalah penting untuk memahami dan bersinggungan dengan budaya dan norma-normal kehidupan lokal dalam kancah negosiasi global. Dan tulisan ini mencoba menganalisis studi kasus negosiasi bisnis lintas budaya antara Amerika dan Cina. Pembahasannya meliputi: (1) Perbedaan pendekatan masing-masing budaya dalam hal kesepakatan kontrak bisnis; (2) Kesalahan yang terjadi diantara kedua pihak; (3) Karakteristik negosiator yang baik; dan (4) Apa yang harus dipersiapkan dalam negosiasi lintas budaya.
Keywords: negosiasi lintas budaya, Cina, Amerika, Guanxi.

I.       Latar Belakang Masalah
Sebagian besar permasalahan bisnis di lapangan ternyata disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pelaku bisnis akan arti penting negosiasi dan cara melakukannya dengan benar. Padahal, negosiasi kadang lebih menentukan ketimbang perjanjian hitam di atas putih, terutama di awal-awal memulai kerja sama. Bahkan tidak jarang pula negosiasi dilakukan tanpa persiapan. Akibatnya, ketika dilakukan, negosiasi hanya menjadi sia-sia dan kita jadi rugi waktu dan tenaga. Padahal, kerugian itu bisa dihindari apabila pelaku bisnis memposisikan negosiasi sebagai elemen krusial dalam menjalankan kerjasama bisnis.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan artikel yang ditulis oleh Markus Pudelko yang berjudul “Cross-Cultural Negotiation: Americans Negotiating A contract in China”.



II.      Kajian Teoretik Negosiasi Bisnis
Pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan perjanjian perdagangan bebas tentunya melalui tahap-tahapan tertentu, salah satunya yaitu tahap negosiasi dalam penyusunan perjanjian antara pihak-pihak yang bersangkutan. Negosiasi adalah suatu tahap dimana pihak-pihak yang bersangkutan saling mengajukan tuntutan dan keinginan mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Odell (2009) bahwa negosiasi adalah:
a sequence of actions in which two or more parties address demands and proposals to each other for the ostensible purposes of reaching an agreement and changing the behavior of at least one actor. (Suatu kegiatan pengajuan tuntutan-tuntutan dan penawaran-penawaran antara dua pihak atau lebih secara bertahap dengan tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan dan untuk merubah sikap salah satu pihak).”

II. 1     Definisi Negosiasi
Secara umum kata "negosiasi" berasal dari kata to negotiate, to be negotiating dalam bahasa inggris yang berarti "merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu kondisi, dan atau menawar". Sedangkan kata-kata turunanya adalah antara lain "negotiation" yang berarti "menunjukkan suatu proses atau aktivitas untuk merundingkan, membicarakan sesuatu hal untuk disepakati dengan orang lain", dan "negotiable" yang berarti "dapat dirundingkan, dapat dibicarakan, dapat ditawar".
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu negosiasi juga merupakan ijab kabul dari sebuah proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama (Sujana, 2004: 15).
Negoisasi secara umum memiliki kandungan unsur-unsur atau komponen sebagai berikut :
1.    Pertemuan antara 2 (dua) belah pihak atau lebih yaitu pihak kita dan pihak lain.
2.    Membahas tentang suatu persoalan bisnis (dalam arti luas).
3.    Adanya tawar menawar mutualistik (saling menguntungkan).
4.    Adanya suatu musyawarah untuk mencapai titik temu.
5.    Adanya suatu kesepakatan antara keduanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi bisnis adalah pertemuan antara 2 (dua) belah pihak atau lebih yang membahas suatu persoalan bisnis dalam arti luas dengan adanya tawar menawar mutualistik, adanya suatu musyawarah untuk mencapai titik temu dan adanya kesepakatan antara keduanya.
II. 2     Tujuan Negosiasi
Ada beberapa tujuan dari sebuah negosiasi dalam bisnis, yaitu antara lain :
1.     Untuk mendapatkan atau mencapai kata sepakat yang mengandung kesamaan persepsi, saling pengertian dan persetujuan.
2.     Untuk mendapatkan atau mencapai kondisi penyelesaian atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi bersama.
3.     Untuk mendapatkan atau mencapai kondisi saling menguntungkan dimana masing-masing pihak merasa menang (win-win solution).
II. 3     Manfaat Negosiasi
Selain mempunyai tujuan, negosiasi juga mempunyai manfaat. Manfaat yang diperoleh dari sebuah proses negosiasi di dalam pengertian bisnis resmi antara lain adalah :
1.     Untuk mendapatkan atau menciptakan jalinan kerja sama antar badan usaha atau institusi ataupun perorangan untuk melakukan suatu kegiatan atau usaha bersama atas dasar saling pengertian. Dengan terjalinnya kerjasama antar kedua belah pihak inilah maka tercipta sebuah transaksi bisnis yang saling terkait, sehingga membuat hidup perekonomian. Dengan kata lain, bahwa suatu proses negosiasi bisnis merupakan bagian dari suatu proses interaksi guna menghidupkan perekonomian dalam skala yang lebih luas.
2.     Dalam sebuah perusahaan, sebuah proses negosiasi akan memberikan manfaat untuk menjalin hubungan bisnis yang lebih luas dan juga untuk mengembangkan pasar, yang diharapkan memberikan peningkatan penjualan. Proses negosiasi bisnis juga akan menghasilkan harga yang lebih baik dan efisiens, yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Dalam jangka panjang hal ini akan memberikan kemajuan dari sebuah perusahaan.
II. 4     Strategi Negosiasi
Negosiasi merupakan hal yang rumit dan memiliki beragam strategi. Namun menurut Odell, dari sekian banyak strategi negosiasi, terdapat tiga strategi utama dalam negosiasi yaitu distributive strategy, integrative strategy, dan mix strategy (Crump, 2005).
Distributive strategy merupakan suatu strategi yang digunakan oleh salah satu pihak ketika pihak tersebut merasa hasil negosiasi tidak akan menguntungkan pihaknya maupun pihak lawan atau menemui jalan buntu. Pihak yang menggunakan strategi ini akan selalu mengedapankan keuntungan atau kemenangan dari sisinya atau paling tidak pihaknya tidak mengalami kerugian. Taktik utama strategi ini yaitu mengajukan penawaran yang tinggi, bersifat tertutup, lamban dalam bernegosiasi (tidak cepat atau gampang menerima penawaran pihak lawan), menunda-nunda proses negosiasi dan beberapa taktik lainnya.
Sedangkan integrative strategy, adalah strategi yang mengedepankan tercapainya hasil yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Taktik dari pihak yang menggunakan strategi ini yaitu menawarkan penyusunan suatu perjanjian yang saling menguntungkan, selalu berusaha mencari solusi alternatif di luar penawaran yang telah diajukan oleh pihak lawan maupun pihaknya dan beberapa hal lainnya.
Selanjutnya yaitu mix strategy, strategi ini menurut Odell adalah strategi yang lebih sering digunakan dalam proses-proses negosiasi. Strategi ini merupakan gabungan dari strategi distributive dan integrative, pihak yang menggunakan taktik ini berkomitmen untuk memberikan hasil yang menguntungkan bagi pihaknya maupun lawan, tetapi ada kecenderungan untuk tidak terlalu terbuka terhadap pihak lawan dan selalu berusaha membawa negosiasi ke arah yang lebih menguntungkan bagi pihaknya. Strategi ini dapat lebih cenderung ke arah distributive ataupun integrative, begitu pun alurnya dapat dimulai (awal negosiasi) dari menggunakan strategi integrative dan berubah menjadi distributive di akhir negosiasi.
II. 5     Gaya Negosiator
Negosiator yang terampil, yang secara teratur bertemu dengan banyak pihak lain tahu bahwa mereka masing-masing mempunyai gaya bernegosiasi tersendiri. Di dalam praktek negoisasi akan ditemukan tiga gaya negosiator, yaitu :
1.     Tipe petarung (fighter).
Yaitu negosiator yang memiliki orientasi pada tugasnya, sangat tinggi.
2.     Tipe kolaborator (collaborator)
Yaitu negosiator yang bertujuan untuk memperoleh segalanya ditempat terbuka, menghadapi berbagai masalah dan membuat transaksi yang kreatif.
3.     Tipe kompromistis.
Yaitu negosiator yang selalu berusaha mencari kompromi untuk menyelesaikan persoalan.
Ketiga jenis negosiator tersebut sangat erat kaitannya dengan jenis organisasi yang berbeda-beda didalam penerapannya. Diantara ketiga tipe tersebut yang paling unggul sangat tergantung kepada “ketrampilan, pelatihan dan pengalaman” yang dimiliki masing-masing negosiator.
II. 6     Pengaruh Kebudayaan yang Berbeda Terhadap Kemampuan Negosiasi
Kemampuan negoisasi dengan pengaruh kebudayaan yang berbeda adalah suatu hal yang perlu “diketahui” dan “di-identifikasi”. Orang dari negara yang berbeda mempunyai nilai, sikap, dan pengalaman yang berbeda. Mereka mempunyai kekuatan dan juga kelemahan yang berbeda satu sama lain.
Seorang negosiator yang berkompeten harus mengembangkan gaya yang cocok dengan kekuatannya sendiri. Janganlah berusaha untuk mengikuti gaya dan kebudayaan yang lain. Hendaknya dia jangan mengikuti gaya orang lain di mana ia mempunyai kekuatan, sedangkan pihak lain tidak; suatu gaya yang akan menyebabkan dia menunjukkan kelemahan alamiahnya dan bukan kekuatannya yang alamiah.
Ia perlu menyadari apa yang merupakan kekuatannya dan mempraktekkan keterampilannya untuk memanfaatkan kekuatan itu. Ia juga harus sadar bahwa orang lain bekerja secara lain. Menghormati cara-cara mereka yang berbeda tanpa perlu tunduk kepadanya adalah penting.
Perbedaan tentang kebudayaan itu tidak saja mempengaruhi perilaku luaran tersebut, melainkan juga menentukan nilai-nilai dasar dari para negosiator itu. Setiap orang membawa berbagai asumsi yang berakar dalam meja negosiasi yang mungkin dia sendiri tidak menyadarinya. Adapun berbagai perbedaan budaya yang mempengaruhi gaya negosiasi adalah sebagaimana dibawah ini (Susilo, 2008; Thill and Bovee, 2010) :
1.    Budaya Amerika.
Pada umumnya diidentifikasikan dengan kecenderungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·      Percaya diri dan mengedepankan profesionalisme.
·      Straight to the point (langsung ke pokok masalah/pembicaraan)
·      Kemampuan tawar menawar.
·      Minatnya pada “system-paket”.
2.    Gaya Budaya Jerman.
Mempunyai kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·      Gaya yang teliti dan sistematik.
·      Persiapan sangat matang, kaku dan tanpa kompromi.
·      Penyampaian masalah dan penawaran dengan jelas dan tegas.
3.    Gaya Budaya Inggris.
Mempunyai kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·      Cenderung amatir dan berbeda sekali dengan gaya Amerika.
·      Kurang adanya persiapan.
·      Baik hati, ramah, suka bergaul, menyenangkan.
·      Luwes dan tanggap terhadap inisiatif.
4.    Gaya Budaya China.
Mempunyai kecenderungan ciri-ciri sebagai berikut :
·      Atensi terhadap “wajah-diri” (penampilan, harga diri yang sering ditunjukkan dengan kemewahan).
·      Spesialisasi (negoisator memang harus ahli di bidangnya atau membawa ahli-ahlinya selama negoisasi).
·      Rasa curiga terhadap ras “barat”.
·      Menyukai perhatian tulus klien terhadap topik keluarga.

III.    Pembahasan Studi Kasus
Studi kasus yang dipaparkan oleh Markus Pudelko dalam artikel “Cross-Cultural Negotiation: Americans Negotiating A Contract in China” merupakan contoh dua pendekatan budaya negosiasi bisnis. Di bagian ini, penulis berusaha menjawab pertanyaan diskusi di akhir halaman artikel tersebut.
1.     Perbedaan Pendekatan Budaya Negosiasi Bisnis Antara Amerika dan Cina
Dalam paparan yang dikemukakan pihak Amerika (dalam hal ini direpresentasikan oleh Mr. Jones), terlihat bahwa budaya negosiasi bisnis di Amerika adalah:
(1)       Langsung pada inti masalah bisnis (straight to the point), dalam artian mereka enggan untuk berlama-lama dalam ‘ritual’ penyambutan dan acara kekeluargaan lainnya yang dipersiapkan oleh pihak Cina;
(2)       Budaya Amerika lebih menyukai hal-hal detail/rinci tentang segala hal yang menyangkut kontrak bisnis;
(3)       Mitra bisnis adalah mitra bisnis, bukan teman apalagi keluarga, jadi komunikasi pun hanya sebatas bisnis, tidak perlu membicarakan hal-hal pribadi di luar bisnis;
(4)       Kesepakatan bisnis harus diupayakan secepat mungkin, dalam artian tidak mau membuang-buang waktu untuk hal-hal lain di luar bisnis;
(5)       Kontrak bisnis tidak perlu melalui birokrasi yang panjang, apalagi melibatkan urusan politik (pengurus partai komunis atau partai pemerintah lainnya);
(6)       Lebih menyukai mitra bisnis yang menerangkan secara rinci tentang perusahaan mereka, namun tetap menganggap mereka hanya sebatas rekan bisnis, bukan teman atau keluarga;
(7)       Jika terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam kontrak, maka pengadilan adalah tempat penyelesaian terbaik;
(8)       Tidak mau mencampuradukkan antara bisnis dengan politik/birokrasi, karena itu dianggap sebagai ‘korupsi’;
(9)       Lebih bisa menerima kritik yang membangun; dan
(10)    Dalam pengambilan keputusan, seorang negosiator bisa langsung mengambil keputusan sejauh tidak menyimpang dari kebijakan umum perusahaan.
Adapun budaya negosiasi di Cina (yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Mr. Wang) adalah sebagai berikut:
(1)       Sesuai dengan adat ketimuran dalam penyambutan tamu, maka rekan bisnis juga adalah tamu yang harus disambut dengan kehangatan dan tidak perlu terburu-buru dengan pembicaraan kontrak bisnis;
(2)       Orang Cina lebih menyukai pembahasan prinsip-prinsip umum (general principles) yang akan menjadi tata nilai dalam semua kesepakatan bisnis, adapun rincian kontrak kerja bisa dibicarakan setelah selesai pembahasan prinsip-prinsip umum tersebut;
(3)       Mitra bisnis adalah teman yang hubungannya bisa berlanjut setelah kontrak kerja selesai, dan diperlukan pembicaraan masalah keluarga atau pribadi sebagai selingan pembicaraan bisnis agar timbul keakraban;
(4)       Kesepakatan bisnis adalah kesepakatan antara orang dengan orang, bukan benda mati, jadi adalah penting untuk memperlakukan rekan bisnis sebagai seorang manusia yang harus diketahui sifat-sifatnya. Perlakuan tersebut perlu waktu, tidak bisa dilakukan sesingkat mungkin;
(5)       Negara Cina dikuasai sepenuhnya oleh partai komunis, sehingga semua keputusan bisnis harus melewati birokrasi partai;
(6)       Dalam pergaulan sehari-hari, kejujuran adalah penting, namun dalam urusan bisnis ada hal-hal yang harus dikemukakan dan ada yang tidak perlu diungkapkan secara rinci, dan itulah yang disebut strategi bisnis;
(7)       Jika terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam kontrak, maka harus dicari arbitrase dengan memanggil pihak ketiga sebagai penengah dan bukan langsung ke pengadilan;
(8)       Dalam bisnis, ada yang dinamakan jaringan bisnis (guanxi) dimana orang-orang yang berada dalam jaringan tersebut bis saling mendukung dan mendapatkan kemudahan, dan itu bukanlah nepotisme atau korupsi;
(9)       Urusan yang menyangkut negara atau budaya tidak perlu diukur oleh budaya lain, sehingga dengan mudah bisa mengkritik aspek-aspek kehidupan di Cina; dan
(10)    Semua keputusan bisnis, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan atasan (superiors).
2.     Kesalahan Dalam Negosiasi Bisnis Lintas Budaya
Dalam kasus kesalahpahaman antara Mr. Jones (pihak Amerika) dan Mr. Wang (pihak Cina), kesalahan terletak di kedua pihak., yakni: (1) Kedua pihak tidak saling memahami budaya masing-masing; (2) Kedua pihak merasa paling benar, terutama pihak Amerika yang merasa lebih superior dan memaksakan agar pihak Cina mau mengikuti aturannya karena merasa sebagai pihak yang akan memberikan kontrak kerja; (3) Jika sebuah perusahaan akan melakukan negosiasi lintas budaya, maka negosiator yang harus dikirim adalah orang yang etnis nya sama, sehingga tidak diperlukan seorang penterjemah dan mereka akan salingmenghargai satu sama lain karena kesamaan etnis.
3.     Karakteristik Negosiator yang Baik
(1)     Percaya diri;
(2)     Menghargai orang lain termasuk menghargai budaya orang lain;
(3)     Mengetahui seluk-beluk calon rekan bisnis, termasuk budaya dan lingkungannya;
(4)     Dapat mengendalikan emosi;
(5)     Tidak merasa sempurna, sehingga mau mendengarkan pendapat orang lain;
(6)     Ramah, sopan, simpatik & humor;
(7)     Berpikir positif;
(8)     Sabar, ulet & tidak mudah putus asa; dan
(9)     Mencintai & merasa memiliki yang tinggi akan profesi yang ditekuni
4.     Hal-hal yang Harus Dipersiapkan Ketika Memulai Negosiasi Bisnis Lintas Budaya
(1)     Kedua belah pihak harus mempelajari budaya dan keunikan lingkungan masing-masing;
(2)     Negosiator harus bisa melihat dari sudut pandang rekan bisnis, sehingga ia bisa mengerti jalan pikiran calon rekannya tersebut;
(3)     Negosiator harus mengerti sistem bisnis yang dijalankan di negara rekan bisnis, sehingga jika terjadi masalah, maka penyelesaiannya bisa menguntungkan kedua belah pihak (wi-win solution), tanpa ada pihak yang merasa tertipu.


IV.   Daftar Pustaka

Crump, Larry. “Concurrently Linked Negotiations and Negotiation Theory: An Examination of Bilateral Trade Negotiations in Australia, Singapore and the United States,” (“makalah”) dalam The Occasional Paper series on Conflict Analysis and Resolution (Conflict Analysis and Resolution program of Sabanci University, June 2005).
Drucker, Peter with Maciariello, Joseph A. (2008). Management (Revised Edition). New York: Harper Collins Publisher.
Naisbit, John. (1994). Global Paradox. New York: Time Magazine Publisher..
Odell, John S. “The Negotiation Process and International Economic Organizations,” (“makalah”) dipersiapkan untuk Annual Meeting of the American Political Science Association (School of International Relations, University of Southern California, September 2009), wwwrcf.usc.edu/~odell/APSA99.DOC [diakses tanggal 18 Juni 2013].
Patton, Patricia. (2008). EQ di Tempat Kerja alih bahasa oleh Zaini Dahlan. Jakarta: Pustaka Delaprasta.
Pudelko, Markus. (2005). Cross-Cultural Negotiation: Americans Negotiating A Contract in China. Tubingen University.
Sujana, Asep ST. (2004). Retail Negotiator Guidance. Jakarta: SUN Printing.
Susilo, Taufik Adi (2008). China Connection. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Thill, John V. and Bovee, Courtland. (2010). Excelence In Bussines Communications. New York: Mc Graw Hill Inc.

No comments:

Post a Comment